Malam
itu mobil yang kami tumpangi langsung menuju ke arah kota
Chiang Mai.
Perjalanan dari Bangkok ke kota
Chiang Mai kurang lebih menghabiskan waktu
10-12 jam menggunakan mobil. Pertama kali
menginjakkan kaki di Bangkok, highway
terlihat bersliweran di mana-mana. Ya tidak jauh berbeda dibandingkan
Jakarta. Hanya saja yang patut diacungi jempol, jalan raya (
mungkin bisa dibilang jalan antar provinsi)
dari ujung selatan hingga utara bisa dibilang mulus layaknya jalan tol.
Sepanjang jalan masih banyak lahan-lahan rerumputan kosong. Tapi anehnya juga
di beberapa jalan terdapat beberapa kantor atau bangunan pabrik. Sebenarnya
saya belum cari tahu juga sih bagaimana. Jika dibandingkan dengan di Indonesia,
bangunan pabrik atau industri biasanya berada di tempat yang strategis dan
berada di kawasan industri (
yang
seharusnya tidak terlalu dekat dengan pemukiman penduduk). Akan tetapi ada
bangunan industri juga yang berada di tengah-tengah lahan/sawah dan belum ada
bangunan lain di sekitarnya (
sepi juga ya).
Semakin
menjauh dari kota Bangkok, hawa sejuk dan dingin mulai terasa.
Chiang Mai
berada di Thailand bagian utara, hampir berbatasan dengan negara tetangga
yaitu Myanmar. Mungkin karena pengaruh letak geografis, udara di Chiang Mai
juga terasa lebih sejuk dibandingkan dengan wilayah Thailand bagian selatan
seperti Bangkok yang panasnya hampir sama seperti Jakarta
J. Iklim di Thailand sendiri ternyata ada 3 macam
yaitu musim panas, musim dingin, dan musim hujan
J.
Di periode tertentu di beberapa tempat di Chiang Mai , jika Anda beruntung Anda
bisa melihat kecantikan cherry blossom. Cherry blossom juga ada di negeri Gajah
Putih lho !
Tidak
jauh dari kota Chiang Mai, kami menuju sebuah perkampungan yang bernama Ban
Luang Nuea (Ban artinya rumah). Kami disambut oleh
community tersebut kemudian diajak menuju salah satu bangunan.
Bangunan tersebut adalah gambaran rumah tradisional Thailand. Mereka lengkap
menggunakan baju khas dan penutup kepala berwarna putih. Sesepuh di
community tersebut kemudian menyambut
kami dengan upacara mini dan penyematan gelang yang disertai dengan do’a-do’a.
Bracelet and Lee-la-wa-dee / ลีลาวดี (kamboja)
Kami dibagi menjadi beberapa
homestay.
Kebetulan saya dan beberapa teman mendapat
homestay
milik Lung Ai. Beliau terlihat sangat humble dan ramah. Kami diajak berkeliling
kebun dan melihat lingkungan sekitar. Tidak jauh dari rumah Lung Ai juga
terdapat
loco market. Uniknya dari
info Phi Bo,
Loco market hanya buka setiap
Rabu siang atau sore. Malam hari kami
makan malam bersama host family. Rumah Lung Ai ini cukup unik. Di bagian kamar
mandi masih terdapat wadah air yang terbuat dari kayu. It’s traditional style.
Dapur di rumah Lung Ai juga masih berupa bangunan kayu yang ditata rapi dan
cantik. Hampir sebagian besar rumah di Thai Lanna berupa rumah panggung seperti
rumah adat daerah Sumatera. Kalau dari penjelasan Phi, bentuk rumah tersebut juga bisa bermanfaat
untuk menghindari serangan binatang buas dan banjir (
mungkin ini di zaman dahulu). Tapi jika dilihat saat ini model bangunan berupa rumah panggung sangat bermanfaat
untuk dijadikan gudang penyimpanan perkakas atau barang lainnya. Kembali ke
suasana malam hari bersama
host family. Kami berbagi makanan dan cerita dengan Lung Ai sebagai host family. Namun jangan dikira semua host family bisa berbahasa inggris. Bahkan mendapat homestay yang paham makna eat , drink, toilet, atau sleep saja sudah bersyukur (hehe karena itu kebutuhan pokok sehari-hari). The power of kepepet nya adalah bahasa isyarat. Kami menanyakan beberapa istilah benda dalam bahasa Thailand juga sambil menggunakan bahasa isyarat. Hihi lucu juga ya.
Salah satu model rumah di Ban Luang Nuea (dokumen pribadi)
Dapur cantik dan tradisional (dokumen pribadi)
Suasana pedesaan di Thailand mungkin tidak jauh berbeda dibandingkan dengan suasana pedesaan di Indonesia. Kebetulan di kampung tersebut masih banyak sawah, kebun, dan peternakan yang cukup luas. Dari cerita Phi Bo, Raja Thailand memiliki salah satu teori yang disebut sufficient (yang berarti cukup). Dari ajaran tersebut, penerapannya salah satunya dalam memanfaatkan tanah tempat tinggal. Tanah tempat tinggal sebaiknya dibagi untuk beberapa fungsi diantaranya tanah untuk mendirikan bangunan, tanah untuk beternak, tanah untuk bercocok tanam, dan tanah untuk menampung atau menyimpan air. Di tempat menyimpan air, mereka juga bisa sambil memelihara ikan atau hewan lain yang bermanfaat. Yah memang tidak jauh beda dengan negara kita. Hanya saja yang membuat kagum adalah masyarakat di sana paham betul dasar dari hal mereka lakukan, salah satunya karena memang saran dari Sang Raja. Organic farming juga sudah diterapkan dibeberapa tempat. Salah satu contohnya yaitu pemanfaatan tanaman untuk pengganti insektisida dari bahan kimia. Ada banyak tanaman yang dimanfaatkan, contohnya seperti lemon grass, basil (kemangi), dan tanaman cabai. Kalau dilihat dari kandungannya memang tanaman-tanaman tersebut banyak mengandung minyak atsiri yang biasanya bermanfaat sebagai insektisida alami (jadi teringat mata kuliah kimia produk alam hehe).
Good Morning from Thai Rice Field :)
Keesokan
harinya kami diajak memasak beberapa hidangan untuk sarapan. Kami membuat
semacam tumis ayam dan jamur kuping. Rempah-rempah yang digunakan sebenarnya
mirip dengan yang ada di Indonesia. Hanya saja bawang bombay dan jahe melimpah
ruah. Dalam hidangan mereka juga biasa menambahkan cairan semacam kecap ikan
atau campuran kaldu. Tidak lupa motto juga digunakan untuk menambah rasa sedap.
Yang membuat kaget , ternyata mereka menyebut vetsin dengan istilah “motto”
juga :D. Selain makanan besar, kami juga disuguhi cemilan atau jajanan. Mungkin
karena masih di Asia Tenggara, beberapa jajanan dan hidangan ada yang mirip
dengan makanan di Indonesia. Sebut saja kolak, onde-onde atau roti goreng,
semacam lemper, es tebu, dan masih banyak lainnya. Hanya saja saya belum dapat kesempatan
makan Tom Yum di negara asalnya langsung nih. But, nope, masih ada Tom Fat Khai (Tom Fat Khai adalah makanan sejenis sup ayam.
Tom dalam bahasa Thailand artinya sup) yang tak kalah sedapnya J.
Tom Fat Khai, lengkap dengan saus asamnya, (dokumen pribadi)
Masyarakat di Ban Luang Nuea
ternyata bisa dibilang sudah cukup mandiri dan memiliki jiwa
entrepreneurship. Kami diajak
mengunjungi salah satu pusat kerajinan wooden doll dan sempat belajar berkreasi
di ban wooden doll (boneka kayu). Eits tapi bukan pinokio yang akan dibuat ya.
Pak pemilik wooden doll banyak membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di
sekitarnya. Dan yang patut diacungi jempol, beliau adalah lulusan dari fakultas
seni di salah satu universitas di Chiang Mai. Jadi keahlian yang beliau punya sangat
terasa manfaatnya bagi masyarakat sekitar. Jika dibandingkan dengan
background beliau, pendidikan,
penelitian, dan pengabdiannya sangat nyata untuk masyarakat sekitar. Mungkin
kalau banyak lulusan sarjana yang kreatif seperti beliau, menjadi
entrepreneurship yang tetap berorientasi
pada kepentingan
social maka negara
akan makmur. Sebab menurut studi, hampir sebagian negara maju memiliki jumlah
entrepreneur yang cukup banyak.
Penerapan sociopreneurship
di beberapa negara maju meningkatkan kesempatan kerja secara signifikan. Di
Amerika, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini mencapai 6,8 %, Prancis
4,2 %, dan Jerman 3,7 % (OECD, 1998, p.114). Indonesia ? Di tahun 2007, baru
ada sekitar 0,18 % masyarakat Indonesia yang berkarya sebagai
entrepreneur. Namun tidak semua
entrepreneur adalah sociopreneur. Untuk
penjelasan lebih lengkap mengenai sociopreneurship
teman-teman bisa membacanya di link berikut http://adina-twins.blogspot.co.id/2015/10/social-entrepreneur-agen-of-social.html.
Owner of Wooden Doll (dokumen pribadi)
Tidak jauh dari Ban Wooden doll,
kami juga belajar membuat handycraft
lain. Uniknya kerajinan ini terbuat dari tanaman mulberry yang diproses, diolah
dengan pengeringan dan bantuan mesin sehingga diperoleh bahan semacam bubur
kertas. Bubur kertas ini yang digunakan sebagai bahan dasar mulberry paper artwork. Ketika mendengar mulberry saya jadi teringat
salah satu tempat di daerah kota kelahiran saya. Di sana terdapat daerah yang
dipenuhi kebun tanaman mulberry untuk budidaya ulat sutera. Daun mulberry
menjadi santapan lezat bagi ulat sutera (silkworm).
Kepompong ulat sutera digunakan sebagai bahan dasar untuk benang dan kain
sutera yang harganya bisa berlipat-lipat dibanding kain jenis lain. Di Ban
Luang Nuea, tanaman mulberry juga dimanfaatkan untuk membuat salah satu jenis
artwork paper. Satu lagi sociopreneur
mulberry paper membuat desa ini termasuk makmur dan mandiri. Tak heran jika community di Ban Luang Nuea merupakan
salah satu CBT (Community Based on
Tourism) yang cukup mandiri.
Contoh proses pengeringan mulberry paper artwork (dokumen pribadi)
Selain mengenal dua tempat di
atas, kami juga mencicipi salah satu makanan tradisional yang bernama khao khaep. Mungkin bisa dibilang
seperti bubur sumsum tipis yang bertabur
wijen hitam. Makanan ini biasa dikonsumsi sebagai cemilan, dapat dimakan dalam
kondisi basah ataupun yang sudah kering sepeti krupuk. Pembuatannya pun bisa
dibilang masih tradisional, yakni menggunakan pawon yang berasap dan panas haha.
Adonan diratakan melingkar menjadi tipis kemudian ditunggu mengering dan
diangkat. Mungkin lebih tepatnya seperti membuat kue lekker. Setelah diangkat
kami pun langsung berebut mencicipi jajanan tersebut. ARROY MAK !!
Pembuatan Khaow khaep (dokumen pribadi)
Hmm baru sekitar 24 jam berada
di Ban Luang Nuea, sudah banyak kesan dan pelajaran yang bisa diambil.
Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan.
Ban Luang Nuea dan Chiang Mai bukan hanya menawarkan keindahan alam dan
budaya, tapi orang-orang yang ada di
sana menjadi salah satu daya tarik tersendiri mengapa kami ingin mengenal
mereka. Salam hangat dari Indonesia untuk Lanna Thai !